6/14/2010

Daging sebagai Makanan Simbol Maskulinitas

Vegetarian merupakan sebuah pilihan di tengah para pemakan daging sebagai mayoritas. Para pemakan daging lebih menganggap hubungan dengan makanan adalah sebagai bentuk hubungan biasa dengan sebuah benda padat. Sedangkan bagi para vegetarian, berhubungan dengan daging merupakan hubungan dengan makhluk hidup. Perbedaan pandangan antara para vegetarian dengan para pemakan daging ini lebih merupakan beda sudut pandang. Keunikan dari makhluk hidup bagi para vegetarian sebagai upaya menghargai hidup itu sendiri. Bukan merupakan hubungan antara manusia dengan benda padat yang tak pernah ada peran apapun di dunia.

Daging yang berasal dari makhluk hidup ini dianggap sebagai sumber kekuatan bagi para petani di masa lalu yang pekerjaan sehari-harinya di ladang. Term “daging” yang dianggap berbeda bagi para vegetarian dan omnivor ini disebabkan adanya beda anggapan bahwa daging hanyalah benda padat tak bernilai personal. Ternyata daging yang merupakan sumber kekuatan ini identik dengan maskulinitas. Daging merupakan makanan pilihan para lelaki. Peran laki-laki dalam masyarakat menjadikan pilihan makan daging menjadi wajar.

Di Barat, daging ini diolah menjadi steak. Sedangkan di Indonesia, daging diolah menjadi sate. Perbedaan daging olahan ini tak menjadi faktor yang mengalihkan pilihan laki-laki untuk memakan daging sebagai menu utama dalam keseharian mereka. Tentunya pilihan ini berbeda pada setiap kelas. Kelas menengah atas lebih mampu menjadikan daging sebagai pilihan utama setiap hari karena kemampuan finansial mereka. Sedangkan kelas yang lebih rendah kemungkinannya kecil untuk menikmati daging setiap hari. Perempuan sebagai manajer keuangan dan koki, menyesuaikan budget makanan sesuai dengan selera laki-lakinya. Paling tidak seminggu sekali atau sebulan sekali sediakan daging untuk para lelakinya.

Sumber bacaan:

“Eating Culture” by Ron Scapp dan Brian Seitz.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar