Bagaimana rasanya tinggal di panti asuhan? Sedih, tentu ada. ''Biarpun begitu, kami bahagia,'' ujar Mursida yang kini menghuni panti asuhan di Pidie, Aceh.
Di malam hari, sesekali Mursida teringat Peureulak, kampung halamannya. Ia ingin sekali kembali merasakan kehangatan keluarganya. ''Tapi, tak mungkin sering pulang. Ongkosnya Rp 100 ribu sekali jalan. Perjalanannya enam jam dari Pidie. Penat duduk,'' kata Mursida berbagi kisah.
Meski butiran air mata kerap sulit dibendung, hari-hari Mursida lebih banyak dihiasi gelak tawa. Gadis berkerudung ini menjalani aktivitas yang sama padatnya dengan teman-teman belia. ''Pulang sekolah, saya langsung pergi les. Selesainya pukul
Di waktu senggangnya, Mursida gemar menonton basket. Tiap kali pertandingan basket NBA disiarkan televisi, ia tak rela melewatkannya. ''Saya ingin sekali bisa piawai main basket,'' katanya.
Mursida belakangan mempunyai hobi baru, fotografi. Ia dan 59 anak panti asuhan dari Pidie, Banda Aceh, dan Lhokseumawe, baru saja menguasai teknik dasar fotografi. Organisasi berbasis hak anak, Save the Children, mengajak mereka mengikuti workshop fotografi. ''Foto hasil jepretan kami telah dipamerkan di Banda Aceh dan
Menjadi fotografer pemula, hati Zulfan riang. Kini, ia tahu bagaimana cara memasukkan baterai, film, dan teknik memotret. ''Foto yang bagus adalah foto yang mengabadikan objek secara spontan. Artinya, objeknya tak sadar kamera,'' urai Zulfan yang ingin menjadi tokoh masyarakat.
Pindah ke panti
Mengapa tinggal di panti asuhan? Rupanya, Zulfan sendiri yang meminta kepada ibunya agar dapat menjadi anak panti. ''Saya ingin bisa mengaji dan hidup lebih baik. Dengar-dengar, hidup di panti enak. Tak perlu risau biaya sekolah,'' kata Zulfan yang tak lagi memiliki ayah.
Ide pindah ke panti asuhan tidak datang dari diri Nurul Hayati. Gadis kelahiran 1 Juli 1993 ini awalnya merasa terpaksa. ''Saya kehilangan ibu sewaktu tsunami. Saya amat terpukul menghadapi kenyataan itu,'' ungkap pelajar SMP I Banda Aceh.
Berkumpul dengan banyak teman, membuat Nurul cepat memulihkan traumanya. Sebulan menetap di panti asuhan, ia tak lagi dihantui ketakutan bakal berulangnya terjangan gelombang tsunami. Ia juga tidak merasa ketakutan mendengar suara teriakan dan kumpulan orang di keramaian. ''Kami saling menghibur,'' tutur remaja yang ingin menjadi dokter itu.
Terbiasa hidup di panti asuhan, Nurul tetap tak bisa menghalau rasa rindu terhadap ayah dan keluarganya. Kendati demikian, sosok pengganti ditemukannya pada pengelola panti. ''Seperti di rumah, saya juga pernah kena marah. Ketika itu saya telat pulang gara-gara nonton pertandingan bola,'' kata Nurul tersipu.
http://www.infoanda.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar